Selasa, 30 Desember 2008

ICHA talk about ........

DEPRESI PADA ANAK USIA DINI

( Mama Icha )

Setiap anak merasa senang jika kondisi sekelilingnya bisa membuatnya senang dan nyaman. Tetapi jika kondisi disekeliling anak dirasa tidak ideal bagi anak maka anak cenderung merasa tertekan, cemas, dan gelisah. Kondisi inilah yang berpeluang besar menimbulkan depresi ringan pada anak.

Sudah 4 bulan ini Fira ( 5 tahun ) masih ditemani mamanya disekolah. Bukan itu saja, sang mama harus rela ikut masuk kedalam kelas. Sang mama jadi heran kenapa Fira jadi tidak mandiri seperti ini? Padahal di rumah ia anak yang mandiri, pemberani, banyak bicara, dan kelihatannya tidak ada masalah bersosialisasi dengan teman dirumah.

Lain lagi kisah mama Abi . Abi ( 4 tahun ) yang biasanya ceria dan mudah bergaul tiba- tiba saja menjadi berubah semenjak adiknya lahir. Abi menjadi semakin cengeng dan terlihat sering melamun didalam kelas.

Ilustrasi diatas sering kita jumpai dalam kehidupan sehari- hari, terutama pada pasangan muda. Bisa jadi anak menjadi tertekan karena masalah yang sedang dihadapi orang tua, Atau sebaliknya orang tua menjadi stres menghadapi anaknya yang bermasalah.

Dua hal yang sering menjadi indikator bahwa anak sedang menghadapi depresi adalah adanya perubahan tingkah laku dan penurunan tingkah laku kembali menjadi anak kecil lagi. Tanda depresi pada anak kecil biasanya menjadi rewel, sulit tidur, atau menolak makan. Anak yang lebih besar bisa jadi sering mengigau dan berteriak pada saat tidur, mengompol, dan mimpi buruk. Pada anak usia sekolah seringkali terjadi penurunan nilai atau bermasalah dengan guru dan teman- temannya. Hal lain yang sering muncul adalah kecenderungan anak untuk berbohong, keras kepala, dan sering mengeluh pusing.

Penelitian menunjukkan bahwa dampak negative depresi lebih sering ditemukan pada anak dibawah umur 10 tahun.Umumnya penyebab depresi pada anak adalah

1. Berkurangnya perhatian orang tua, seperti ketika mendapat adik baru. Untuk anak- anak yang dirumah biasa dimanja, mereka menuntut hal yang sama disekolah. Ketika tuntutannya tidak terpenuhi, anak menjadi tidak nyaman. Oleh sebab itulah biasanya mereka tidak mau ditinggal karena khawatir tidak bisa mendapatkan kenyamanan disekolah.

2. Berada dilingkungan yang baru. Ketika seorang anak harus kesekolah, maka ia akan menghadapi situasi baru, bertemu orang baru, mengikuti aturan- aturan baru. Hal ini membuat anak merasa takut dan tidak aman berada disekolah.

3. Kondisi tertentu yang terjadi dirumah, misalnya: pindah rumah sehingga harus pindah sekolah juga, kematian binatang kesayangan, pergantian pengasuh, menonton film seram, kematian orang tua, perceraian orang tua.

4. Kejadian- kejadian besar seperti bencana alam, peperangan, atau lingkungan yang penuh kekerasan.

Ketika orang tua atau guru menemukan gejala- gejala depresi pada anak, maka harus segera disikapi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menganalisa penyebabnya. Setelah itu mencoba untuk memahami perasaannya. Disinilah peran komunikasi aktif orang tua. Orang tua atau guru disekolah harus bisa menjadi sahabat bagi anak, sehingga anak bisa mengekspresikan perasaannya.

Banyak orang tua yang sangat jarang memberikan pujian bagi anaknya. Mereka lebih sering melontarkan larangan dan kritikan. Tidak jarang mentertawakan kesalahan atau ketidak mampuan anak. Sikap seperti ini wajib dihilangkan, karena dapat membuat anak merasa tidak mampu melakukan sesuatu dan menjadi tidak percaya diri. Komunikasi yang disertai pelukan , ciuman,dan kata- kata sayang dapat meminimalkan depresi pada anak. Anak merasa tetap diperhatikan dan didengar suaranya.

Seringkali orang tua menjadi stres karena tekanan pekerjaan atau masalah pribadi.Hal ini bisa mempengaruhi kondisi emosional anak. Ini bukan berarti orang tua tidak boleh stres, tetapi alangkah bijaksananya jika tidak diperlihatkan dihadapan anak. Dengan demikian memberikan keteladanan pada anak bahwa kita tidak boleh cepat menyerah dan seberat apapun masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik.

Yang terpenting ketika orang tua telah berusaha untuk meminimalkan tingkat depresi anak, tetapi tidak membawa hasil yang maksimal maka tidak ada salahnya mencari bantuan dari orang yang ahli dibidangnya.

===== mama icha 2008 =====

INFO REDAKSI 2009

Sekilas info

“BINA KREATIF” inclusi school.

Beberapa bulan yang lalu, kami kedatangan seorang ibu dengan anaknya yang berusia 7 tahun. Sekilas anak ini terlihat normal, namun ternyata anak ini menderita gangguan autisma. Dengan kalimat yang terbata – bata dan linangan air mata ibu tersebut menceritakan kondisi anaknya tersebut. Bukan itu saja secara kebetulan anak pertamanya juga menderita autis. Waktu kami bertanya sejak kapan ibu mengetahui bahwa anak ibu menderita autisme? Ibu menjawab bahwa ia mengetahui anaknya menderita autis semenjak si anak berumur 2 tahun. Lagi – lagi masalah ekonomi menjadi penghalang bagi ibu untuk memberikan penanganan dini bagi anaknya. Dengan hanya mengandalkan penghasilan ayah yang kerja serabutan menjadi suatu hal yang mustahil bagi sang ibu untuk memberikan penanganan dini bagi sang anak. Kita sama – sama tahu bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk menangani anak autis sangat besar. Memang ada pusat – pusat penanganan autis yang tidak memungut biaya alias gratis, namun letaknya umumnya ditengah kota. Sangat jauh dari jangkauan kami yang berada diperbatasan depok dan bogor. Walhasil pemandangan orang tua yang membiarkan begitu saja “anak specialnya” berkembang apa adanya sering kami jumpai.

Mengingat perkembangan autis saat ini semakin meningkat, memang sebaiknya lebih banyak informasi mengenai gejala – gejala autis dan penanganannya diberikan ke masyarakat. Bayangkan saja, menurut lembaga riset autisme yang berpusat di Amerika perbandingan penderita autis adalah 1 : 150 sedangkan di inggris lebih fantastis lagi yaitu 1 : 100. dan ini semua mungkin akan menjadi semakin besar. Di Indonesia sendiri belum ada riset yang menyebutkan data spesifik penderita autisme. Autisme sendiri dalam dunia kedokteran berada dalam grey area. Penyebab autisme tidak diketahui secara jelas. Namun yang pasti bukan karena keturunan.

Kami disini tidak akan membahas tentang apa itu autis dan bagaimana penanganannya. Bermula dari cerita diawal tulisan kami, kami lebih menujukan tulisan ini untuk para ibu yang memiliki anak special need. Karena kami begitu memahami betapa berat beban yang dipikul para ibu yang punya anak special need.

Anak adalah karunia Tuhan yang begitu kita dambakan. Namun betapa hancur hati orang tua begitu mengetahui anak yang selama ini ditunggu- tunggu tidak seperti yang diharapkan. Perasaan bercampur aduk antara penerimaan dan penolakan. Ada rasa senang karea memiliki anak, namun ada rasa marah, sedih dan kecewa.

Perasaan putus asa seringkali mewarnai hati orang tua dalam mendampingi anaknya. Ketika masalah demi masalah datang silih berganti namun seolah tidak ada penyelesaiannya.

Mungkin disaat orang tua mulai bisa menerima kondisi anak, masalah muncul dari anggota keluarga lain atau dari lingkungan sekitar. Kami menemukan beberapa kasus yang nenek atau kakek tidak bisa menerima cucunya yang autis. Bisa jadi karena malu atau merasa tidak pernah punya keturunan yang “berbeda” dengan orang kebanyakan.

Beberapa orang tua mengeluh betapa sulitnya mencari teman bermain bagi anaknya. Bisa dimaklumi karena kondisi anak autis seringkali tantrum sehingga banyak yang menjadi “korban” entah itu dipukul, digigit atau ditendang. Apalagi kalau anak kita lantas dicap sebagai anak yang nakal. Memang sedih juga ya bu…, melihat anak- anak lain bisa bermain dengan ceria sementara anak kita hanya bisa melihat teman – temannya dari balik pagar rumah.

Dalam menghadapi semua ini, kami selalu menyarankan para orang tua untuk berbagi pengalaman dengan sesama orang tua yang memiliki anak khusus. Sehingga beban psikologis bisa terangkat. Bergabung dengan berbagai milis atau perkumpulan orang tua penyandang autis juga sangat kami sarankan. Satu kata kunci yang harus selalu dipegang adalah IKHLAS. Ikhlas menerima semua pemberian Tuhan ini dan berusaha semampunya karena bagaimanapun pasti ada hikmah dibalik semua yang diberikan Tuhan kepada kita.

Penanganan anak autis tidak bisa berjalan sendiri – sendiri. Harus ada kerjasama antar orang tua, dokter, terapis, psikolog dan orang orang terdekat yang terlibat pengasuhan. Terbuka terhadap setiap masukan yang diberikan dan jangan merasa benar sendiri.

Kami menghimbau juga kepada para ibu dan ayah yang menemukan anak berkebutuhan khusus dilingkungan rumah atau di sekolah, jangan dikucilkan. Karena dukungan dari lingkungan sekitar sangat mempengaruhi perkembangan si anak. Mungkin anak ini terlihat aneh dan menjengkelkan, tapi ingatlah merekapun memiliki hak yang sama seperti anak- anak lainnya.

Info selanjutnya Hubungi :

Bina Kreatif Inclusi School ( 021 ) 87987089

e-mail : www.bina.kreatif@yahoo.co.id

JURNAL "KAK WIEN" 2009

AKTIVITAS “ KAK WIEN”


Selain Aktif sebagai psikolog dan konsultan Pendidikan, Beliau juga mengisi Rubrik Psikologi di RRI Pro – 1 Jakarta, “Banyak hal yang harus diperbaiki dalam mengasuh dan mendidik Anak – anak” kata Kak Wien ketika sedang wawancara di RRI Pro- 1 bersama Ibu DR.Heren … dari Dirjen Kesetaraan DIKNAS Jakarta.

Mengisi Seminar Psikologi sudah menjadi agenda rutin bahkan beliau ini bisa 20 – 25 kali mengisi seminar dalam sebulan ,….. kebayang juga sih padatnya aktivitas beliau….. beberapa kali mengisi seminar ternyata ada yang berkesan ….. seperti saat mengisi seminar di “BEKhANG TNI – AD” Cibinong Bogor. “Awalnya tegang sekali” kata beliau …. tetapi selanjutnya juga asyik.

Keceriaan saat mengisi Seminar itulah yang menjadi cirikhas Kak Wien…. “Bapak , Ibu sehaaaaat…..” kata kakWien. “Sehatttttt…” Jawab Audien. “Kantongnya juga sehaaaattttt…..” sapaan lagi dari beliau. “Haaaa ….haaaa…..haaaa…” Sambut Audien. Wah pokoknya seru deh…. kalau ikutan seminarnya kakWien.

Beliau juga aktif di beberapa lembaga riset… juga lembaga – lembaga ( LSM ) yang berkecimpung di dunia anak. Yang tak kalah menariknya beliau juga sering mengadakan “Sharing Psikologi” dengan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Beliau juga sebagai Pendiri “SEKOLAH INKLUSI” Bina Kreatif di Depok. Yaitu sekolah yang mengajarkan pada Anak – anak Berkebutuhan khusus, seperti Autisme, syndrome down , Cerebral Palsi “CP” , ADHD , ADD dan lain – lain.

Kak Wien ini juga mendirikan “Kursus Emosional” asyik ya….. kalau pingin ketemu beliau … he…he…. mesti bikin janji dulu ke staf managementnya…. Oke … semoga bisa lebih akrab lagi dengan beliau….. SUKSES KAK WIEN …. ( Red on line Bina Kreatif )