Selasa, 29 Desember 2009

DIALOG DENGAN "KAK WIEN"


“ Seputar Emosional Anak ”

Ada Tiga Surat yang masuk redaksi rangkuman dan jawabannya sebagai berikut :
1. Anak saya umurnya 9 tahun. Ia masih sulit dinasihati secara halus. Kalau saya marah, baru ia mau melaksanakan apa yang diminta. Ia selalu bersikap seperti itu dalam segala hal. Bagaimana untuk mengubahnya agar ia mau menurut?

2. Saya ibu dari dua orang anak. Salah satunya anak laki-laki umur 7 tahun dan nakal sekali. Apa yang saya katakana selalu diprotes. Apa yang harus saya lakukan?

3. Anak saya baru masuk SD, umurnya 6,3 tahun. Ia sulit sekali disuruh belajar, maunya main terus. Bagaimana mendidik anak agar mau menurut terhadap orangtua? Sebagai informasi, saya dan suami sama-sama bekerja.

Jawab:
Pada kesempatan ini, saya sengaja menggabungkan tiga pertanyaan di atas karena menurut saya ada kesamaan dalam permasalahan yang diajukan, yaitu menghadapi anak yang sulit mematuhi nasihat/ instruksi/ aturan/ apa pun yang diberikan orangtua. Dari ketiga pertanyaan di atas, semuanya berkaitan dengan anak usia sekolah dasar. Satu hal yang menarik dari usia ini adalah sering sekali mereka menolak dianggap anak kecil lagi. Akibatnya mereka tidak lagi “mudah menurut” jika cara orangtua dalam menyuruh/ mengatur membuat mereka merasa seperti anak kecil. Mereka akan lebih mudah memahami dan menuruti keinginan orangtua jika mereka diajak bicara dan diberi penjelasan/ alasan dari setiap aturan yang kita berikan pada mereka. Misalnya, mengapa mereka tidak boleh menonton TV terlalu lama atau tidur larut malam. Jadi, hindari instruksi seperti, “Kamu harus belajar karena Ibu menyuruh kamu belajar”, atau “karena itu memang kewajibanmu”. Lebih baik berilah alasan yang bisa mereka terima tentang mengapa mereka harus belajar.
Apabila anak sudah diajak bicara dan sudah pula diberikan penjelasan panjang lebar tapi masih sulit menurut juga, Anda bisa mencoba beberapa tip berikut dalam menghadapi anak:
 Perbaiki cara Anda memberikan instruksi pada anak. Berikan instruksi secara singkat dan jelas, seperti, “Sekarang kamu belajar di kamar”; berikan instruksi satu per satu; tatap mata anak ketika memberikan instruksi bukan dalam bentuk pertanyaan, seperti, “Kamu mau belajar atau tidak?” (tentu saja anak lebih memilih jawaban “tidak”).
 Berikan pujian pada kepatuhan anak, meskipun hasilnya tidak sempurna. Yang terpenting anak sudah berusaha. Contoh, “Terima kasih kamu sudah berusaha merapikan tempat tidurmu”.
 Perkuat pujian dengan konsekuensi positif, misalnya, “Nah, gitu dong cepat mengerjakan PR- nya. Karena kamu cepat, jadinya kamu punya lebih banyak waktu untuk main”.
 Berikan pilihan pada anak, contoh: Kalau kamu belajar sekarang, kamu masih punya waktu untuk main sepeda di luar. Tapi kalau belajarnya nanti-nanti, kamu akan kehilangan waktu bermainmu.
 Gunkan teknik overcorrection. Stephen Garber dalam bukunya “Good Behaviour” menyarankan orangtua untuk menggunakan teknik ini. Ketika anak tidak kunjung merespons instruksi Anda, katakana padanya, “Mungkin kamu belum tahu caranya ya, jadinya kamu belum merapikan tempat tidurmu. Sini, deh, Ayah ajarkan lagi, coba kamu ulangi terus sampai lima kali supaya kamu ingat caranya dan besok-besok sekali diminta kamu akan langsung melakukannya.” Dengan cara ini diharapkan anak akan lebih memilih langsung melakukan apa yang Anda minta ketika Anda baru 1x menyuruhnya.
 Gunakan teknik broken record atau piringan hitam/kaset rusak. Pernah dengar kaset rusak, yang syairnya dinyanyikan berulang-ulang? Nah, teknik ini diilhami dari kaset rusak tersebut. Caranya, ulangi terus instruksi Anda samapi anak bosan mendengarkannya dan akhirnya benar-benar melakukannya.

Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa penerapan teknik di atas tetap membutuhkan kesabaran dari Anda. Jangan sampai emosi Anda ikut terpancing karena ini hanya akan memperburuk keadaan. Tetaplah memberikan perhatian dan kasih saying yang ia butuhkan karena yang kita “perangi” adalah perilaku anak, bukan diri anak.
Demikian saran dari saya.
Selamat mencoba dan tetaplah bersabar.

INFO KONSULTASI
BINA KREATIF KIDS CARE : 0815 185 3874

INFO REDAKSI 2009

Sekilas info

“BINA KREATIF” inclusi school.

Beberapa bulan yang lalu, kami kedatangan seorang ibu dengan anaknya yang berusia 7 tahun. Sekilas anak ini terlihat normal, namun ternyata anak ini menderita gangguan autisma. Dengan kalimat yang terbata – bata dan linangan air mata ibu tersebut menceritakan kondisi anaknya tersebut. Bukan itu saja secara kebetulan anak pertamanya juga menderita autis. Waktu kami bertanya sejak kapan ibu mengetahui bahwa anak ibu menderita autisme? Ibu menjawab bahwa ia mengetahui anaknya menderita autis semenjak si anak berumur 2 tahun. Lagi – lagi masalah ekonomi menjadi penghalang bagi ibu untuk memberikan penanganan dini bagi anaknya. Dengan hanya mengandalkan penghasilan ayah yang kerja serabutan menjadi suatu hal yang mustahil bagi sang ibu untuk memberikan penanganan dini bagi sang anak. Kita sama – sama tahu bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk menangani anak autis sangat besar. Memang ada pusat – pusat penanganan autis yang tidak memungut biaya alias gratis, namun letaknya umumnya ditengah kota. Sangat jauh dari jangkauan kami yang berada diperbatasan depok dan bogor. Walhasil pemandangan orang tua yang membiarkan begitu saja “anak specialnya” berkembang apa adanya sering kami jumpai.

Mengingat perkembangan autis saat ini semakin meningkat, memang sebaiknya lebih banyak informasi mengenai gejala – gejala autis dan penanganannya diberikan ke masyarakat. Bayangkan saja, menurut lembaga riset autisme yang berpusat di Amerika perbandingan penderita autis adalah 1 : 150 sedangkan di inggris lebih fantastis lagi yaitu 1 : 100. dan ini semua mungkin akan menjadi semakin besar. Di Indonesia sendiri belum ada riset yang menyebutkan data spesifik penderita autisme. Autisme sendiri dalam dunia kedokteran berada dalam grey area. Penyebab autisme tidak diketahui secara jelas. Namun yang pasti bukan karena keturunan.

Kami disini tidak akan membahas tentang apa itu autis dan bagaimana penanganannya. Bermula dari cerita diawal tulisan kami, kami lebih menujukan tulisan ini untuk para ibu yang memiliki anak special need. Karena kami begitu memahami betapa berat beban yang dipikul para ibu yang punya anak special need.

Anak adalah karunia Tuhan yang begitu kita dambakan. Namun betapa hancur hati orang tua begitu mengetahui anak yang selama ini ditunggu- tunggu tidak seperti yang diharapkan. Perasaan bercampur aduk antara penerimaan dan penolakan. Ada rasa senang karea memiliki anak, namun ada rasa marah, sedih dan kecewa.

Perasaan putus asa seringkali mewarnai hati orang tua dalam mendampingi anaknya. Ketika masalah demi masalah datang silih berganti namun seolah tidak ada penyelesaiannya.

Mungkin disaat orang tua mulai bisa menerima kondisi anak, masalah muncul dari anggota keluarga lain atau dari lingkungan sekitar. Kami menemukan beberapa kasus yang nenek atau kakek tidak bisa menerima cucunya yang autis. Bisa jadi karena malu atau merasa tidak pernah punya keturunan yang “berbeda” dengan orang kebanyakan.

Beberapa orang tua mengeluh betapa sulitnya mencari teman bermain bagi anaknya. Bisa dimaklumi karena kondisi anak autis seringkali tantrum sehingga banyak yang menjadi “korban” entah itu dipukul, digigit atau ditendang. Apalagi kalau anak kita lantas dicap sebagai anak yang nakal. Memang sedih juga ya bu…, melihat anak- anak lain bisa bermain dengan ceria sementara anak kita hanya bisa melihat teman – temannya dari balik pagar rumah.

Dalam menghadapi semua ini, kami selalu menyarankan para orang tua untuk berbagi pengalaman dengan sesama orang tua yang memiliki anak khusus. Sehingga beban psikologis bisa terangkat. Bergabung dengan berbagai milis atau perkumpulan orang tua penyandang autis juga sangat kami sarankan. Satu kata kunci yang harus selalu dipegang adalah IKHLAS. Ikhlas menerima semua pemberian Tuhan ini dan berusaha semampunya karena bagaimanapun pasti ada hikmah dibalik semua yang diberikan Tuhan kepada kita.

Penanganan anak autis tidak bisa berjalan sendiri – sendiri. Harus ada kerjasama antar orang tua, dokter, terapis, psikolog dan orang orang terdekat yang terlibat pengasuhan. Terbuka terhadap setiap masukan yang diberikan dan jangan merasa benar sendiri.

Kami menghimbau juga kepada para ibu dan ayah yang menemukan anak berkebutuhan khusus dilingkungan rumah atau di sekolah, jangan dikucilkan. Karena dukungan dari lingkungan sekitar sangat mempengaruhi perkembangan si anak. Mungkin anak ini terlihat aneh dan menjengkelkan, tapi ingatlah merekapun memiliki hak yang sama seperti anak- anak lainnya.

Info selanjutnya Hubungi :

Bina Kreatif Inclusi School ( 021 ) 87987089

e-mail : www.bina.kreatif@yahoo.co.id

JURNAL "KAK WIEN" 2009

AKTIVITAS “ KAK WIEN”


Selain Aktif sebagai psikolog dan konsultan Pendidikan, Beliau juga mengisi Rubrik Psikologi di RRI Pro – 1 Jakarta, “Banyak hal yang harus diperbaiki dalam mengasuh dan mendidik Anak – anak” kata Kak Wien ketika sedang wawancara di RRI Pro- 1 bersama Ibu DR.Heren … dari Dirjen Kesetaraan DIKNAS Jakarta.

Mengisi Seminar Psikologi sudah menjadi agenda rutin bahkan beliau ini bisa 20 – 25 kali mengisi seminar dalam sebulan ,….. kebayang juga sih padatnya aktivitas beliau….. beberapa kali mengisi seminar ternyata ada yang berkesan ….. seperti saat mengisi seminar di “BEKhANG TNI – AD” Cibinong Bogor. “Awalnya tegang sekali” kata beliau …. tetapi selanjutnya juga asyik.

Keceriaan saat mengisi Seminar itulah yang menjadi cirikhas Kak Wien…. “Bapak , Ibu sehaaaaat…..” kata kakWien. “Sehatttttt…” Jawab Audien. “Kantongnya juga sehaaaattttt…..” sapaan lagi dari beliau. “Haaaa ….haaaa…..haaaa…” Sambut Audien. Wah pokoknya seru deh…. kalau ikutan seminarnya kakWien.

Beliau juga aktif di beberapa lembaga riset… juga lembaga – lembaga ( LSM ) yang berkecimpung di dunia anak. Yang tak kalah menariknya beliau juga sering mengadakan “Sharing Psikologi” dengan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Beliau juga sebagai Pendiri “SEKOLAH INKLUSI” Bina Kreatif di Depok. Yaitu sekolah yang mengajarkan pada Anak – anak Berkebutuhan khusus, seperti Autisme, syndrome down , Cerebral Palsi “CP” , ADHD , ADD dan lain – lain.

Kak Wien ini juga mendirikan “Kursus Emosional” asyik ya….. kalau pingin ketemu beliau … he…he…. mesti bikin janji dulu ke staf managementnya…. Oke … semoga bisa lebih akrab lagi dengan beliau….. SUKSES KAK WIEN …. ( Red on line Bina Kreatif )